Pemilik Senyuman

Pagi,
bunga – bunga tetap segar setelah hujan melintas sepanjang malam.
bahkan mereka tampak jauh lebih cantik dibanding hari kemarin.
dedaunan membiarkan tetesan air menari – nari riang.
bagai peri hutan yang berpesta setelah kawan mereka datang, yaitu hujan.

Aku terduduk diam termangu menatap teman – temanku yang sedang asyik berburu. Canda, tawa, suka dan duka. Semua menyatu.
Sampai kuputuskan untuk pergi berburu sendiri, tanpa satupun menyadari kepergianku.
Satu blok, dua blok, tiga, empat, lima,…. sembilan blok sudah kuarungi. Bunga – bunga tetap berdiri tegak. Tidak satupun merasa terganggu akan kedatanganku. Angin bertiup, satu dua kelopak bunga terjatuh. Pohon nan rindang dengan daun yang lebat. Satu batu tertidur dibawah pohon terkecil di antara pohon – pohon yang lainnya.
Aku mengelana kembali.
Kali ini dituntun rasa penasaran, aku memasuki tempat asing, yang tidak pernah kulihat, tidak pernah kusinggahi, tidak pernah ku jamah.
Aku berhenti, mengistirahatkan diri.
Disanalah aku melihatmu untuk pertama kalinya.
Bermain dengan sebuah kotak bersinar – sinar. Rambut coklat yang gondrong hingga menutupi kacamata yang kau kenakan. Senyum tersungging di wajahmu tanda suasana hatimu sedang riang.
Aku menatapmu, dari luar jendela tempat kau menghabiskan waktu.
Aku mendekatimu, namun kau tidak menyadari kedatanganku.
Kau tetap sibuk dengan pekerjaanmu. Sambil sesekali meminum kopi yang ada di meja kerjamu.
Aku menatapmu lama, berharap kau mampu menatapku, aku tetap berada di tempat aku semula mendekatimu. Namun kamu tetap tak menyadari aku yang sedang asyik memperhatikanmu.
Aku tersenyum.
Aku pun pulang.

Pagi,
matahari tersenyum riang menandakan hari baru telah dimulai kembali.
Sekelompok anak – anak bermain gembira dengan sebaris bunga.
dedaunan menari berirama dengan desiran angin.
aku kembali mengelana menuju tempat yang masih tercetak pekat di otakku.

Satu dua blok, akhirnya aku pun sampai.
Aku mendatangimu lewat jendela dekat meja kerjamu,
Aku menemukan dirimu.

Terlihat sama seperti hari sebelumnya.

Kacamata, rambut coklat, dan papan ketik.

Aku kembali menatapmu, dan kembali mendekatimu.
Beberapa menit terlewat, kau tetap tidak menyadari adanya aku yang sedang menatapmu.
Aku berusaha membuat suara bising, agar kau memperhatikanku.
Tampan, lihat aku disini..

Tiba – tiba, plung!
Aku terjatuh kedalam cangkir kopimu,
Sambil berusaha naik ke permukaan air,
Aku berhasil, aku tidak tenggelam,
Namun sayap rapuh ku telah basah,
Aku tidak bisa keluar dari cangkir ini,
Aku mulai putus asa dalam nafas ku,
Berharap kau menoleh ke cangkirmu dan menemukan aku yang sedang berjuang.
Aku mati?

Tidak.
Sinar matahari tersirat dari jendela, menyinari tangan jernihmu, di tengah kesadaranku yang menipis, aku melihat wajahmu, untuk pertama kalinya, menatap diriku.
Kau meletakkan diriku yang lemah diatas kain lembut tipis berwarna putih, pelan – pelan kau usap sayapku, wajahmu terlihat khawatir, sesekali kau menyapa aku dan memanggilku.
“kau baik – baik saja?”

Aku berdiri, mengeringkan diri, sambil terus memperhatikanmu.
Kau tersenyum padaku.
Sambil terus menasehatiku dan terus memperhatikan ku.
“jangan dekati cangkirku lagi, untung saja airnya sudah dingin, kalau panas, bisa lebih bahaya.”
Itu ucapmu. Tersenyum.
Kau salah, ‘kalau tidak ada dirimu yang menyadari aku terjatuh, aku mungkin sudah mati…”
Kau angkat diriku, kau letakkan kembali di pinggir jendela dengan sangat lembut, sambil tersenyum, kau berkata lagi,
“hati – hati, sampai bertemu lagi lebah kecil..”

Seperti inikah rasanya berjuang meraih apa yang kita inginkan?
Aku terbang, aku bahagia.

Pagi,
Hari ini tidak secerah kemarin,
Langit begitu gelap,
Udara terasa dingin hingga sayapku terasa kaku,
Bunga – bunga tertunduk lemas,
Namun itu semua tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan penyelamat jiwaku.

Seperti biasa angin menuntunku.
Aku terbang dengan riang, sambil membayangkan reaksimu jika bertemu lagi dengan diriku.
Apakah kamu akan tersenyum seperti kemarin?
Sudikah kau menyentuh sayap ku lagi?

Aku tersenyum.
Aku mengintip melalui jendela, berharap kau ada disana, duduk asyik di depan kotak berwarna mu.
Kau tersenyum menyadari keberadaan ku.
Kau bangkit dari dudukmu, kau dekati aku.
Kau sama sekali tidak merasa takut akan aku,
Aku seekor lebah, dan kau manusia.
Namun sepertinya itu tidak penting buatmu.
“kita sudah berteman sekarang, ya?”
Ucapmu menyapaku, masih dengan senyuman khas yang menghangatkan hatiku.

Aku tertawa, namun sepertinya kau tidak menyadari tawaku.
Aku mendekati cangkirmu, hinggap di gagangnya, namun kau menangkapku,
“berbahaya.”
Ucapmu tersenyum sembari mengangkatku dan meletakkan ku dekat, dekat sekali dengan dirimu.
Aku bahagia, kau membiarkan ku duduk di pundakmu, menatap dirimu bermain dengan kotak warna itu.
Kau tersenyum, tetap melanjutkan pekerjaanmu, sambil sesekali menyapaku.
Aku melipat kakiku, bersandar di pundakmu.
Aku bahagia.

Semua tidak terasa menyenangkan lagi saat kau tiba – tiba berdiri dalam hentakan nafasmu, ketika seorang wanita memasuki ruang kerjamu.
Aku terjatuh.

Cangkir ini tidak begitu terisi penuh, aku bisa saja berusaha meraih ujung cangkirnya, namun aku melihatmu, bercengkrama dengan wanita itu.
Kau bahkan memeluknya, hal yang tidak akan pernah bisa aku rasakan darimu.
Kau lupa akan keberadaanku. Kau tidak menoleh sedikitpun.
Wajahmu dihiasi dengan senyuman yang bahkan lebih indah dari saat pertama aku melihatnya.
Namun senyuman itu bukan milikku.

Aku hanya seekor lebah, dan kau manusia.

Disaat – saat terakhir, kau akhirnya menoleh,
Kau meraih diriku, mengeluarkanku dari cangkir putih itu.
Sayapku rusak, aku tidak indah lagi tanpa sepasang teman bepergianku.
aku lemah.

Tidak pernah kusangka, kau menangisi keadaan ku.
Namun aku tersenyum melihatmu.
Aku sudah pernah mendapat senyummu.
Dan sekarang aku mendapat tangisanmu.

Tapi pada akhirnya, aku bukanlah apa – apa.
Berbahagialah, pemilik senyuman indah.

Aku hanyalah seekor lebah, dan kau manusia.
Aku bahagia.

Advertisement