
Mimpi?
Apa sebenarnya mimpi itu? Apa sebenarnya yang menjadikan mimpi menjadi nyata dalam pikiran kita? Apakah kenyataan yang membuat segala hal menjadi runyam, berbaur menjadi satu, mengumpulkan segala hal di satu titik dan akhirnya menghasilkan mimpi?
Imajinasi?
Hanya sebuah layar datar, bukan, 3 dimensi? Manusia dengan bebas menciptakan sesuatu, mengumpulkan segalanya di dalam bayangan ketika mereka memejamkan mata, menjadikan hal yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, menjadi seperti tiada akhir dalam Imajinasi mereka? Mereka menciptakan segalanya, membuyarkan dan menghancurkan kenyataan. Mengalahkan kenyataan dan kepahitan dengan, imajinasi?
Impian?
Apa bedanya dengan mimpi? Hal yang sama bukan? Ataukah lebih kuat dan lebih nyata daripada mimpi? Atau imajinasi? Seringkali orang mengejar mimpi – mimpi mereka yang tak kunjung datang, mereka tak berbeda dengan impian yang terkubur dalam diri mereka sendiri.
Kenyataan akan berubah, keajaiban akan datang, kepada yang percaya dengan impian dan harapan mereka.
Semua berawal dari hal yang sangat sederhana.
Imajinasi, mimpi, atau impian.
Seperti anak kecil tak berdosa yang senang berimajinasi. Membayangkan dunia dipenuhi dengan hal – hal baru. Siapa yang sangka, hal itu akan merubah hidup mereka kelak?
Vivi, adalah satu dari sekian banyak manusia yang berhasil merealisasikan salah satu impiannya.
Gadis berusia 16 tahun ini adalah murid beasiswa yang akan memulai pendidikannya di salah satu sekolah yang ada di Kyoto, Jepang.
Dia dipindah dari negara asalnya baru baru ini. Menempati rumah orang tua asuhnya untuk beberapa tahun ke depan.
Vivi hanya memiliki Ibu dan seorang kakak laki laki yang kini tengah bekerja membantu Ibu mereka. Ayah mereka wafat akibat mengidap penyakit mematikan 2 tahun lalu dan Ibu Vivi saat itu tidak memiliki biaya untuk membiayai sang Suami berobat.
Ibu Vivi tetap tinggal di negaranya. Sesaat sebelum melepas kepergian anak bungsunya, Ibu Vivi berpesan agar selalu mengiriminya surat seiring dengan perkembangan Vivi tinggal di Jepang.
“Kamu dapat beasiswa?? Sekolah di Jepang?? Apa benar??” ini adalah kata kata pertama yang diucapkan Ibu Vivi saat anaknya menyampaikan kabar bahwa dia terpilih untuk menjadi siswi yang akan di kirim ke Jepang. Awalnya sang Ibu berpikir bahwa anaknya mengada ada, namun setelah Vivi memperlihatkan surat yang dia terima dari salah satu lembaga tempat Vivi mengikuti tes, Ibu nya nyaris tidak bisa berkata. Hanya menangis, menangis haru.
“Tapi, apa kamu benar – benar bisa kesana? Pasti membutuhkan biaya yang besar, untuk makan, tempat tinggal, dan biaya sehari hari, juga tiket pesawat! Darimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Vivi?”
Ucap sang Ibu lirih.
“Ibu tenang saja, itu semua sudah diatur oleh mereka, semuanya! Kita hanya terima beres bu. Aku bisa ke Jepang. Akhirnya Bu, aku bisa bersekolah disana!! Tapi.. Apa Ibu akan baik – baik saja?”
“Kamu anak yang baik, kamu layak mendapatkan ini. Ayahmu pasti bangga. Ibu akan baik – baik saja. Toh kakakmu disini bersama Ibu. Hanya ingatlah, terus kabari Ibu perkembanganmu disana, tulislah surat, atau apapun.”
Ibu tersenyum.
“Tentu Bu, tentu.”
“Ibu sangat bangga padamu.”
ucap Ibu nya lagi, memeluk erat putrinya.
Malam itu tidak ada lagi hal yang bisa memecahkan kebahagiaan Vivi. Melihat kebanggaan yang terpancar dari wajah sang Ibu, dan kebahagiaan yang dia raih berkat kerja kerasnya.
——–
“Gomennasai, ano, boleh aku bertanya? Dimana kelas 1-3?”
Tiga siswi itu tertawa melihatku, tersenyum mengejek dan terlihat merendahkanku. Satu dari mereka lebih tinggi dari dua lainnya, bermata besar, berambut hitam kuncir kuda. Satu yang agak gemuk terlihat manis, memakai pita lucu di sebelah kanan rambutnya. Dan satunya lagi kurus, tingginya sama dengan yang gemuk, berambut panjang sebahu, berponi dan cantik. Awalnya kupikir mereka ramah dan akan membantuku. Namun bukan menjawab pertanyaan ku, mereka berlalu dan meninggalkan ku sendiri di lorong kelas yang panjang ini.
Seorang guru menghampiriku, dia tinggi, kira – kira sebaya dengan Ibu ku. Berwajah bulat dan berambut cepak. Dia bertanya mengapa aku masih berdiri disini padahal bel sudah berbunyi beberapa menit lalu.
“A..aku tidak tahu dimana kelasku..aku murid baru disini.”
Setelah memberitahunya, dia mengantarku ke kelas. Barulah ku tahu bahwa dia adalah wali kelasku disini.
“Saya mendapat murid baru, dan kalian kedatangan teman baru, mungkin tukang kebun kita juga mendapat tugas baru dengan ada nya dia disini.”
Sontak murid – murid tertawa, aku tidak mengerti apakah guru itu hanya bercanda atau memang dia benar – benar bermaksud seperti itu.
“Saya Makoto Taneda, wali kelasmu. Dan ini adalah teman – teman baru mu. Sekarang perkenalkan dirimu.”
Dengan gugup dan gemetar. Aku memberanikan diri dan berusaha tenang. Ada kekhawatiran muncul di benak ku. ‘Apakah mereka akan menyukaiku? Ataukah akan memusuhiku? Bagaimana jika mereka membenciku dan menjauhiku lalu mengucilkanku?’
Aku menepis pikiran itu. Menarik nafas dalam – dalam dan menegakkan badan.
“Aku Vivi, murid transfer dari Indonesia. Ku harap kita bisa bekerja sama dengan baik. Yoroshiku onegaishimasu.”
Aku membungkukkan badan.
Sayup – sayup terdengar suara tawa.
‘Mereka pasti mengejekku.’ Pikirku.
“Indonesia? Negeri antah berantah ya? Tidak pernah dengar.” Salah satu siswa berkata. Disusul oleh tawa seisi kelas yang bergemuruh sampai ke hatiku.
“Ibu.. Mereka tidak menyukaiku..”
Ucapku dalam hati.
————
Hari ini waktu terasa berjalan sangat lambat. Pelajarannya terasa lebih sulit. Orang – orangnya dingin. Aku belum bisa akrab dengan siapapun. Dan yang lebih menyedihkan, teman sebangkuku tidak menyapaku sama sekali. Seperti tidak menganggapku ada.
Bel istirahat berbunyi, aku menuju kantin seorang diri. Berjalan pelan setenang mungkin.
Segerombolan siswi berjalan mendahuluiku. Ada sesuatu yang jatuh.
Aku berjalan cepat menghampiri mereka.
“Maaf, kurasa ini milikmu.”
Ucapku sambil mengulurkan tangan.
“Terimakasih.”
Salah satunya berterimakasih sembari mengambil benda miliknya dari tanganku.
“Ah, itu salah satu siswi di kelasku.”
Gumamku mengingat.
Setelah membeli roti dan susu. Aku melangkah ke salah satu kursi di kantin. Duduk disana ditemani 5 kursi kosong dengan meja yang agak panjang.
“Kau menempati kursi ku.”
Seseorang berkata kepadaku. Ketika aku menoleh, kulihat 6 siswi yang tidak asing. Dari kelasku lagi.
“Maaf.”
Ucapku pelan.
“Cari meja lain. Ini milik kami.”
Salah satunya berkata sinis.
Aku beranjak, bukan untuk mencari kursi lainnya, aku melangkah cepat menuju kelas ku.
Kuputuskan untuk makan disini.
—————-
“Aku pulang.”
“Selamat datang. Lesu sekali Vivi-chan? Bagaimana sekolahmu?”
Seseorang menyapa dari dapur.
Wanita cantik ini adalah Tomoko Arashi, yang mana merupakan istri Paman Daichirou Arashi, keluarga asuh ku selama aku tinggal di Jepang. Aku bersyukur, Bibi dan Paman Arashi sangat ramah dan mau menerima ku.
“Hari pertama ku berjalan baik sekali, terima kasih Bibi.”
“Tidak adakah yang mengusilimu?”
Seseorang bertanya.
Aku menoleh. Daisuke disana, menatapku sinis dari balik meja makan. Anak satu – satu nya keluarga Arashi. Laki – laki yang terlihat tampan ini sebaya denganku dan tidak ramah padaku. Sejak aku datang kesini, dia menghindari ku. Baru sekarang dia benar – benar menanyakanku.
“Tidak ada.”
Aku menelan ludah.
“Tidak seru. Harusnya banyak yang menjahilimu. Kau kan orang aneh. Orang asing.”
Ucapnya sinis.
“Daisuke..”
“Ah, aku ada tugas rumah. Permisi Bibi, aku akan keatas dan mengerjakannya.”
Aku memotong ucapan Bibi Arashi, aku tidak mau melihat Daisuke membantah Ibu nya karena aku.
“Jangan lupa makan malam nanti ya Vivi-chan.”
Bibi tersenyum lembut.
Aku mengangguk pelan.
Aku melangkah ke tangga menuju kamarku. Sayup – sayup aku mendengar Bibi menegur Daisuke akan sikapnya terhadapku tadi.
“Aku tidak suka dia, Bu.”
Itu agak menyakitkanku.
Aku mengeluarkan pena dan kertas, aku mulai membubuhkan tulisan yang segera ku hapus lagi dan kutulis ulang.
“Ibu, apa kabar? Ku harap Ibu dan kakak baik – baik saja disana. Aku sangat rindu pada kalian. Hari pertama ku sebagai seorang siswi di salah satu sekolah di Kyoto sangat menyenangkan. Bibi dan Paman Arashi sangat ramah, begitu pun dengan anak mereka Daisuke. Aku bersyukur bisa kesini.
Aku sangat merindukan kalian dan negaraku..”
Aku menitikkan air mata.
Aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah akan situasi seperti ini. Aku yakin semua akan berubah, aku tidak akan menyerah. Demi Ibu dan kakakku. Aku ingin berguna untuk mereka. Menjadi anak yang berbakat, mendapat pekerjaan hebat dan memberikan tempat tinggal yang layak untuk Ibu dan kakak laki – laki ku.
————–
“Vivi, kamu benar – benar akan berangkat kesana?”
“Iya, aku ‘kan akan bersekolah disana.”
“Kamu pasti mampu.”
“Maksud kakak?”
“Kamu punya misi, Vi.”
“Misi?”
“Dan tanggung jawab besar.”
“Aku masih tidak mengerti.”
Aku terbangun dari tidur. Ingatan itu merasuki mimpiku.
Beberapa minggu sebelum aku berangkat, kakak ku Soni berbincang dan menanyakan banyak hal. Dia juga menasehati ku.
“Dengan begini secara tidak langsung kamu meninggikan harapan Ibu kita.”
Kakak ku berbicara dengan tatapan menerawang. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Kakakku sudah berusia 23 tahun. Dia tidak pernah bersekolah. Itu dikarenakan orang tua kami yang tidak mampu membiayai sekolah anak – anaknya. Namun dia pria muda yang cukup cerdas, itu karena dia memiliki kemauan yang keras untuk belajar. Dulu ketika berumur 10 tahun, hampir setiap sore dia pergi menemui teman baiknya. Dia diajari cara mempelajari bahasa, hitung – hitungan, bahkan makhluk hidup. Itu berlangsung selama kurang lebih 6 tahun. Namun teman baiknya pindah rumah karena ayahnya direlokasikan ke kota lain.
Aku termasuk gadis yang beruntung. Berkat bantuan seorang dermawan aku bisa menempuh pendidikan di tempat yang layak. Mengikuti les dan semacamnya. Hingga akhirnya aku terpilih untuk dikirim kesini karena sebuah tes yang kuikuti berkat dorongan dermawan itu.
Kak, aku akan berusaha.
———
Daisuke masih saja dingin. Tadi pagi setelah sarapan dia menahan kakiku ketika aku berjalan sampai aku terantuk dinding.
Dahiku biru dan sedikit berdarah.
“Apa sudah baikan, Vivi-chan?”
Tanya Bibi cemas sambil memplester dahiku.
“Aku baik – baik saja, Bi. Maaf merepotkan.”
“Oh tidak sama sekali, ini karena Bibi terlalu memanjakan Daisuke. Maafkan Bibi dan Daisuke ya Vivi-chan.”
“Tidak apa – apa, aku mengerti. Aku berangkat dulu ya Bi.”
“Hati – hati, semoga harimu menyenangkan, Vivi-chan!”
Aku tersenyum dan melambaikan tangan begitu sampai di gerbang rumah. Dan melangkah keluar sambil bersenandung pelan.
Little boxes on the hillside, little boxes made of ticky tacky little boxes on the hillside, little boxes all the same.
There’s a green one, and a pink one, and a blue one and a yellow one…
Aku berhenti bersenandung saat melihat Daisuke yang tiba – tiba muncul disamping ku. Tatapannya sinis dengan ekspresi datar seperti yang biasa kulihat.
“Suaramu buruk sekali. Memekakkan telinga.”
“Kupikir bukan urusanmu.”
“Itu mengganggu.”
“Hanya kau yang merasa seperti itu. Lagipula tidak ada siapapun disini.”
Dia terdiam dan melangkah cepat.
“Kau yakin tidak ada yang mengusilimu di sekolah?”
“Ya.”
“Aku tidak percaya.”
“Bukan urusanmu.”
“Hey, apa kau ingat? Kau tinggal dirumahku. Kau harus menghormatiku. Bodoh.”
“Aku menghormati orang – orang yang menghargaiku.”
Aku melangkah cepat dan mendahuluinya, meninggalkan dia yang terdiam karena ucapanku.
———–
“Kenapa dahimu?”
Pertanyaan yang dilontarkan teman sebangku ku itu mengejutkanku. Maksudku, kemarin dia bahkan tidak menghiraukanku sama sekali. Sekarang dia menanyakanku.
“Ah, aku tersandung.”
“Bodoh sekali.”
Tawanya mengejek.
Benar, bodohnya aku. Kupikir dia mulai ramah dan ingin berteman. Ternyata tidak semudah itu.
Hari ini aku membawa bekal yang dibuatkan Bibi Arashi. Dia benar – benar perhatian dan lembut. Aku heran kenapa Daisuke sangat berbeda dengan Ibu atau Ayahnya.
Aku melangkah ke belakang sekolah. Halamannya luas, ada taman bunga yang cantik dan rerumputan yang asri.
“Kurasa disini saja.”
Gumamku.
Aku langsung duduk dan membuka bekalku. Ketika baru akan melahapnya, aku mendengar langkah – langkah yang mendekat kearahku.
Kulihat seorang siswa bertubuh tinggi, berbadan tegak, berambut coklat, dengan wajah oval dan tatapan tajam. Namun manis dan terkesan ramah.
“Oh, lihat. Oi, dia disini!”
Teriaknya.
Dua orang siswa datang menghampiri laki – laki ini. Dan langsung menatapku.
“Kenapa kau disini?”
Tanya yang berkacamata.
Aku hanya diam. Aku takut salah memberi jawaban dan malah menyudutkan ku disini.
“Hey? Aku sedang bertanya.”
Tanyanya lagi.
“Aku…”
Aku berkeringat dingin. Aku ingin pergi, tapi rasanya tubuhku kaku.
“Jangan takut. Kami tidak akan mengusilimu kok.”
Siswa pertama tadi tersenyum usil padaku.
“Namamu Vivi ‘kan?”
Tanyanya.
Aku mengangguk. Terdiam bingung. Menatapi mereka satu persatu.
“Aku Kenji Yamada. Yang berkacamata ini Takeru Akagawa. Dan yang berambut hitam dengan tampang sok keren ini Asano Ryuu.”
“Sa.. Salam kenal.”
Ucapku terbata bata.
Tinggi mereka hampir sama. Hanya bentuk tubuhnya yang berbeda. Takeru tinggi, dengan tubuh agak kurus, berambut pendek rapi dengan senyum manis yang sekarang merekah di wajahnya. Ryuu memiliki tubuh yang hampir sama dengan Kenji, dengan bahu yang lebar, rambut hitam berponi samping agak panjang. Bentuk wajahnya sama seperti wajah Kenji. Dan ekspresi nya sinis, agak mirip Daisuke, meskipun Daisuke masih tahu cara tersenyum.
“Kami ini teman sekelasmu. Seharusnya kau ingat itu.”
Celetuk Ryuu dingin.
“Asano bodoh, tidak mungkin dia ingat. Dia siswi baru di kelas kita. Tidak semudah itu mengingat semua siswa dikelas bukan?”
Ucap Kenji ketus sambil menepuk bahu Ryuu.
“Kau yang bodoh Yamada, ini sudah dua hari dia duduk dikelas, tidak mungkin dia tidak memperhatikan sekeliling.”
Jawab Ryuu sinis.
Tentu saja aku tidak ingat.
Aku bahkan belum berani memperhatikan segala hal yang ada di kelasku.
“Kalian berdua, sudahlah. Bukannya kita ingin mengakrabkan diri dengan gadis ini? Mengapa kalian malah berdebat?”
Takeru melerai keduanya, sesekali menoleh padaku dan mengembalikan pandangannya lagi ke Kenji dan Ryuu.
Aku terkejut mendengar ucapan Takeru. Aku tidak menyangka.
“Itu kemauan kalian, bukan aku.”
Ryuu membuang muka, tidak melihatku sama sekali.
Aku agak shock mendengarnya.
Tiba – tiba Kenji duduk disebelahku dan menyambar udang milikku. Takeru duduk didepan Kenji dan mengeluarkan keju yang dia bawa di kantongnya. Sedangkan Ryuu..
“Aku mau ke toilet dulu.”
Ucapnya sambil lalu.
“Yasudah, pergilah. Jangan kembali lagi!”
Kenji dan Takeru tertawa.
“Omong – omong, Vivi-chan. Aku ingin bertanya. Mengapa Bahasa Jepangmu bagus sekali? Dan darimana kau mempelajarinya? Ada yang mengajarimu atau semacamnya?”
Tanya Kenji dengan wajah berseri seri.
“Aku mempelajarinya di sebuah perpustakaan sejak usia ku 8 tahun, Yamada-kun.”
Jawabku.
“Hee? Benarkah?”
Mereka bertanya bersamaan.
Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
“Dulu sekali Jepang pernah menjajah negara ku. Kakek ku adalah salah satu dari sekian masyarakat Indonesia yang ikut serta melawan Jepang kala itu. Dia mengatakan padaku bahwa Jepang adalah negara berisi orang – orang yang kejam dan menakutkan. Aku agak terkejut dengan itu. Dan mendengar cerita kakekku tentang Jepang membuatku ingin mengenal negara ini. Pelan – pelan aku mempelajari bahasa kalian dan sejarah nya di perpustakaan sekolah. Dan lama – lama aku mengenal dan menguasai bahasa ini.”
Mereka diam dan terlihat bingung dengan ceritaku.
“Apa ada yang salah?”
Tanyaku.
“Bukan. Hanya saja, itu tadi terdengar menarik. Aku terkejut. Kau bisa setenang ini menceritakannya. Pikirku, bukankah pastinya kakekmu bercerita tentang penjajahan Jepang dengan segala detil yang dia ingat? Bahkan dia bilang orang Jepang kejam dan menakutkan. Kalau begitu, kau bisa membayangkan betapa mengerikannya zaman itu. Ya ‘kan?”
“Hmm. Sebenarnya aku sempat berpikir bahwa aku aneh, tapi aku tahu aku tidak bodoh. Mengapa aku bisa menyukai negara yang pernah menghancurkan bangsa ku dan merenggut kebebasannya. Namun itu semua sudah berlalu, buat apa mengingat keburukkan dari masa lalu padahal kita bisa memetik kebaikan dari itu? Lagipula, manusia tidak ada yang sempurna, orang Indonesia tidak ada yang sempurna, orang Jepang tidak ada yang sempurna, maupun Cina, Thailand, Australia, atau negara apapun di dunia. Kita semua memiliki kekurangan masing – masing, namun kita bisa saling melengkapi. Aku yakin, Jepang tidak seburuk itu.”
Aku tersenyum.
Aku bisa lihat mereka tertegun beberapa saat. Lalu pelan – pelan ekspresi mereka kembali normal.
“Ajarkan aku bahasamu, Vivi!”
“Eh? Kau tidak menggunakan ‘Chan‘, Yamada?”
Tanya Takeru.
“Diam, Akagawa. Aku baru saja memintanya mengajariku bahasa nya. Karena itu aku menyingkirkan ‘Chan‘ dari namanya.”
Jawab Kenji serius.
Aku tertawa pelan.
“Dengan senang hati aku akan mengajarimu, Yamada-kun.”
~ akan berlanjut ~
Image source : http://fc04.deviantart.net/fs37/f/2008/241/6/5/Autumn_Tree_by_Angela_T.jpg