“Shannon ?!”
Aku memanggil Shannon berulang kali. Namun sepertinya dia tidak mendengarku sama sekali. Dia terus berjalan memasuki lorong dan anehnya, dia malah menoleh sekeliling dan memanggil namaku. Ya ampun, masa dia tidak melihatku?
Kaget.
Aku benar – benar melihat jelas seorang laki – laki tua dengan pakaian serba hitam tiba – tiba sudah berdiri tepat di sebelah Shannon, tapi sepertinya Shannon tidak menyadari keberadaan laki – laki itu. Aku terus berteriak memanggil Shannon dengan putus asa, ingin ku langkahkan kaki namun terasa berat sekali.
Tiba – tiba kulihat Shannon terhempas ke dinding dengan kerasnya. Aku benar – benar ingin menolong namun aku tidak bisa bergerak. Belum hilang kebingunganku, ada seseorang yang menarik lenganku menjauh dari Shannon dan laki – laki yang masih berdiri di dekat Shannon itu.
Seorang gadis berambut pirang yang… Astaga !!! Dia melayang !!!
“Tunggu !! Lepaskan aku !!”
Aku ketakutan setengah mati, mungkin hampir pingsan. Bagaimana tidak, aku yang selama ini tidak pernah percaya dengan hal – hal berbau mistis atau tidak masuk akal bisa tiba – tiba mengalami hal seperti ini. Namun aku benar – benar merasa takut, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Gadis yang melayang itu terus menarikku entah kemana, menyusuri lorong panjang yang tiada akhirnya. Tidak mendengarkan aku yang sedang menyerocos ketakutan memohon untuk dilepaskan.
Ini tidak mungkin nyata.
“Kumohon lepaskan aku..”
Ucapku memelas sambil meneteskan air mata.
Sial, jika Shannon, Jared dan Matt tahu aku menangis, aku pasti akan diejek mereka seumur hidup.
“Aku takut kau tidak bisa bertemu dengan teman – temanmu lagi.”
Aku terpelongo dalam air mata. Menatap gadis itu yang sekarang sudah berhenti menarikku dan juga menapak. Aku baru menyadari kalau kami ada di sebuah ruangan yang lumayan kecil, dengan sebuah kursi dan karpet tebal yang berdebu. Dengan lampu gantung yang sudah berkarat pada tiap sisi – sisinya.
“Kau ini apa?”
Ucap ku berani, akhirnya.
Dia hanya diam menatapku dengan tampang iba.
Dia mengasihaniku?
“Kenapa kau berkata aku tidak bisa bertemu dengan teman – teman ku lagi?”
Tanyaku penasaran, sambil menyeka sisa air mata di pipi ku.
“Kalian sudah membuat kesalahan besar. Seharusnya kalian tidak pernah datang kesini.”
“Mengapa? Kau ini siapa?!”
Tanyaku setengah marah.
“Aku Helena.”
Hey, I swear to God. Sepertinya aku benar – benar akan pingsan kali ini.
“Tunggu, kau Helena?”
Ucapku masih berusaha mengembalikan kesadaranku yang sepertinya sempat hilang dua detik tadi.
Gadis itu mengangguk.
“Tunggu.. Tunggu.. Tunggu ! Aku tidak paham.. Di surat kau bilang…”
“It was not me !!”
Teriak gadis itu dengan wajah sedih, memotong ucapanku.
“But you are Helena ! You asked Shannon to come to see you ! Dan tadi kau melayang, sebenarnya kau ini apa?!”
“Tomo..”
“Nah, bahkan nama ku kau bisa tahu !”
“Berikan aku kesempatan untuk menjelaskan !!”
Teriaknya kesal, membuat benda – benda di sekitar kami bergetar hebat.
Astaga.
“Maaf, aku panik. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi disini. Aku kebingungan.”
Sesalku.
“Aku mengerti, Tomo. Semua ini tampak tidak masuk akal bagimu. Bersiaplah untuk mendengar ini, kumohon jangan pingsan.”
Pintanya.
Makhluk hebat, dia bisa tahu aku mudah pingsan.
“I’ll try.”
“Tempat ini adalah Puri Iblis. Tempat berkumpulnya iblis – iblis jahat yang sangat menyukai manusia. Dan teman – temanmu itu sudah masuk perangkap mereka sekarang.”
(Matt Point of View)
Aku masih ternganga melihat seseorang yang menyapaku itu. Dengan setelan jas hitam dengan dasi kupu – kupunya. Menawarkan ku segelas sampanye dengan ramahnya.
Pria ini seratus persen mirip dengan diriku. Tidak, aku lebih tampan sih.
“Ini tidak mungkin..”
Ucapku tidak percaya.
Pria itu hanya diam sambil tersenyum, meminum sampanyenya. Memberiku isyarat untuk ikut duduk dengannya di kursi meja kayu panjang itu, menuang lagi sampanye ke gelasnya yang telah kosong.
“Kau siapa?”
Tanyaku setelah menerima ajakannya untuk duduk bersamanya di kursi tersebut. Dia masih meneguk sampanye nya pelan.
“Kau siapa?”
Tanya ku lagi.
“Aku Matt Wachter.”
Jawabnya tersenyum.
(Jared Point of View)
“Matt?”
Ya Tuhan. Apa yang sedang terjadi? Aula itu, aku yakin sekali tadi aku memasuki ruangan ini dari pintu itu, langsung dari aula. Tapi kenapa aulanya tidak ada sekarang? Aku mengecek pintu – pintu lain namun semua isinya kosong.
Aku berteriak memanggil kakak ku, Tomo dan juga Matt.
Aku benar – benar bingung dan takut.
Aku berteriak kembali, namun tidak seorang pun datang memberi pertolongan.
“Where the hell are you guys?!”
Teriakku lagi, kalut.
Aku merasakan kehadiran seseorang. Aku menengok ke arah lorong itu. Seorang pria dengan postur tubuh yang sangat aku kenali berdiri memunggungiku, berjarak sekitar enam sampai tujuh meter dariku. Aku mencoba memanggilnya tapi dia malah berjalan menjauh.
Aku bersumpah, aku sangat mengenali pria ini. Aku segera berlari mengejarnya, tapi dia pun semakin cepat.
“Hey Tuan? Tuan ?!”
Panggilku lagi padanya, dia masih berlari kecil menjauh dariku menyusuri lorong – lorong ini.
Nafasku tersengal, aku baru menyadari bahwa lorong ini semakin panjang dan banyak.
Pria itu terhenti. Dan aku dengan ragu – ragu mendekatinya. Aku dibuat kaget setengah mati olehnya ketika ia membalikkan badannya.
Dia tersenyum menatapku, dan dia sangat mirip denganku.
Ini semua membuatku benar – benar bingung. Pikiranku sulit mencerna berbagai hal yang terjadi ditempat ini.
“Siapa kau?”
“I am Jared Leto.”
Senyumnya ngeri.
“Kau bukan Jared, akulah Jared Leto.”
Ucapku meyakinkan.
“Ya, tidak lama lagi.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak mengerti ya?”
“Berhenti tersenyum mengerikan seperti itu dan jelaskan semuanya !”
Teriakku marah menarik kerah bajunya dan mendorongnya ke dinding.
“You are going to die, soon.”
Dia masih tersenyum dengan kerahnya yang kucengkram kencang. Seperti tidak berkurang keberanianku, aku bertanya lagi padanya.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan padaku, hah?”
Ucapku balas tersenyum sinis padanya.
“Hal yang sama yang akan terjadi pada teman – temanmu.”
Satu gerakan cepat darinya yang bahkan tidak sempat aku hindari membuatku terjatuh ke lantai. Sial, apa ini?
Aku memegang lenganku yang bercucuran darah segar. Entah apa yang terjadi, dia bahkan tidak memegang satu pun benda tajam. Lalu mengapa lenganku seperti ini?
Aku tergeletak di lantai sambil berusaha bangun, belum sempat aku berdiri, dia menyerangku lagi.
“Sialan !!”
Teriakku kesakitan saat sekarang perut sebelah kiriku yang terluka.
“Kau ini makhluk apa?”
Ucapku menahan sakit.
“Makhluk paling menyenangkan yang belum pernah kalian semua temui.”
Balasnya tersenyum kejam.
“Mengapa kau melakukan ini?”
“Kami iblis ! Kami bisa melakukan apapun yang kami mau ! Dan uh, kupikir akan kubiarkan kau mengucapkan salam perpisahan kepada kakakmu. Pergilah, aku senang melihat korbanku yang berlumuran darah berlari dariku. Dan selagi kau berlari, aku akan mengejarmu.”
Tawanya.
“Brengsek.”
Aku mencoba mengumpulkan kekuatanku dan berdiri, aku berlari sekuat tenaga kemanapun aku bisa berlari. Yang ada di pikiranku sekarang adalah bagaimana caranya menemukan Shannon dan yang lainnya lalu pergi dari sini.
“Aku akan mengejarmu, Jared Leto.”
Aku masih mendengar tawanya yang sangat mengerikan seiring aku berlari.
Ya Tuhan, tolong kami.